, ,

Dunia Pendidikan Berduka, Siswi SMAN 9 Bandar Lampung Jadi Korban Bullying Keji

oleh -90 Dilihat

Dari Jeritan Hati ke Harapan: Perjalanan Pemulihan MR, Siswi SMAN 9 Korban Bullying yang Didampingi Dinas PPPA

Majalah Metro– Dunia remaja seharusnya diwarnai dengan tawa, persahabatan, dan semangat mengejar cita-cita. Namun, bagi MR (17), siswi kelas 12 SMAN 9 Bandar Lampung, tembok sekolah justru berubah menjadi labirin penyiksaan mental yang membuatnya terpenjara dalam kesedihan dan ketakutan. Selama dua pekan, bangku kosong di kelasnya menjadi bukti bisu dari luka mendalam yang disebabkan oleh perundungan (bullying) sistematis yang ia alami.

Nasib MR mulai mendapat titik terang setelah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kota Bandar Lampung turun tangan langsung. Intervensi yang cepat ini memberikan secercah harapan bukan hanya bagi MR dan keluarganya, tetapi juga menjadi perhatian serius bagi upaya penanggulangan kekerasan di lingkungan pendidikan.

Duka di Balik Pintu Tertutup: Korban yang Mengurung Diri

MR memilih untuk mengurung diri di rumah orang tuanya di Kelurahan Sukamenanti Baru, Kecamatan Kedaton. Dua pekan adalah waktu yang lama untuk seorang siswa kelas 12 yang seharusnya mempersiapkan ujian dan masa depannya. Namun, trauma yang ia alami jauh lebih berat daripada beban pelajaran apa pun.

Dunia Pendidikan Berduka, Siswi SMAN 9 Bandar Lampung Jadi Korban Bullying Keji
Dunia Pendidikan Berduka, Siswi SMAN 9 Bandar Lampung Jadi Korban Bullying Keji

Baca Juga: Pada Kegiatan Gotong Royong, TNI-Polri dan Warga Bersinergi Antisipasi Genangan Air

Ibu MR, Endang (40), dengan suara bergetar menceritakan perubahan drastis pada anaknya. “Dia malu, katanya difitnah hamil dan diejek karena kami orang tidak mampu. Sejak itu dia makin tertekan dan enggan keluar rumah,” tuturnya. Kata-kata itu menggambarkan betapa sederhananya alasan untuk menyakiti seseorang, namun betapa dahsyatnya dampak yang ditimbulkan.

Intervensi Cepat: Sentuhan Pertama Psikolog dan Penguatan Mental

Merespons laporan tersebut, Kepala Dinas PPPA Kota Bandar Lampung, Maryamah, langsung bergerak. Ia tidak datang sendirian; ia membawa serta seorang psikolog untuk memberikan pendampingan dan penguatan mental pertama kepada MR. Langkah ini menunjukkan pendekatan yang tepat, di mana penanganan korban bullying memerlukan keahlian khusus untuk menyentuh luka yang tidak terlihat.

“Saya datang dengan psikolog. Semua yang dirasakan MR sudah mulai keluar. Rasa minder itu pasti ada, berbeda dengan teman-temannya. Nah, di sinilah pendampingan psikolog sangat penting,” kata Maryamah pada Rabu (17/9/2025). Proses ‘mengeluarkan’ semua yang dirasakan adalah langkah krusial pertama dalam terapi trauma, membuka jalan untuk proses pemulihan yang lebih panjang.

Bullying yang Menghancurkan: Fitnah Kehamilan dan Ejekan Kemiskinan

Dalam pendampingannya, MR akhirnya bisa bercerita tentang penderitaan yang ia alami. Ejekan dan perundungan bukanlah hal baru baginya. Ia mengaku sudah sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman sekelas sejak awal masuk sekolah.

Dua bentuk bullying yang paling menyakitkan adalah fitnah kehamilan dan ejekan terkait kondisi ekonomi keluarganya. MR bahkan difitnah hamil dan kerap dipanggil dengan sebutan hina “miskin hama”. Bullying tidak hanya verbal tetapi juga struktural; dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah, nama MR sengaja dihilangkan dari daftar. Seorang temannya bahkan dengan keji berkomentar, “Wajar orang miskin senang dapat makan gratis.”

Ejekan tentang kemiskinan dan pengucilan sosial ini menunjukkan betapa bullying bisa mengambil bentuk yang kompleks—mengikis harga diri, merusak reputasi, dan mengisolasi korban dari lingkungannya.

Langkah Kedepan: Koordinasi dan Komitmen Jangka Panjang

Maryamah menegaskan bahwa kunjungan ini baru langkah awal. Pemulihan kesehatan mental bukan proses instan. Dinas PPPA Kota Bandar Lampung berencana berkoordinasi dengan Dinas PPPA Provinsi Lampung untuk penanganan yang lebih komprehensif.

“Pendalaman terhadap kejiwaannya nanti ada tahap berikutnya. Ini masih awal, tapi kami ingin MR tetap bersemangat untuk sekolah,” jelasnya. Rencana ke depan juga termasuk sosialisasi ke sekolah-sekolah untuk mencegah terulangnya kasus serupa. Ini menunjukkan bahwa penanganannya tidak hanya kuratif (menyembuhkan) tetapi juga preventif (mencegah).

Yang paling ditekankan Maryamah adalah pentingnya kolaborasi. “Tidak semudah itu. Penguatan ini perlu dukungan semua pihak, mulai dari keluarga, sekolah, hingga lingkungan sekitar. Intinya, MR harus tetap sekolah dan bisa menjadi orang hebat,” katanya. Pernyataan ini menegaskan bahwa memerangi bullying adalah tanggung jawab kolektif.

Refleksi dan Peringatan untuk Kita Semua

Kasus MR adalah cermin dari masalah yang masih sangat akar di banyak sekolah di Indonesia. Bullying, dalam bentuk apa pun, meninggalkan luka yang dalam dan berkepanjangan. Ini bukan lagi sekadar “masalah anak-anak” yang akan selesai dengan sendirinya, melainkan sebuah kekerasan yang dapat menghancurkan masa depan seorang anak.

Sekolah seharusnya menjadi zona aman dan nyaman untuk belajar. Kasus ini mempertanyakan sejauh mana sistem anti-bullying dan pendidikan karakter telah diimplementasikan dengan serius. Di mana peran guru, konselor sekolah (BK), dan teman-teman sebaya yang seharusnya bisa menjadi penopang dan melapor ketika melihat ketidakadilan?

Akhir Kata: Dari Kepedulian Menuju Aksi Nyata

Perjalanan pemulihan MR masih panjang. Butuh waktu, kesabaran, dan dukungan berkelanjutan untuk membantunya kembali percaya diri dan bersemangat mengejar mimpinya. Kehadiran Dinas PPPA adalah awal yang sangat baik, tetapi ini harus menjadi pemantik bagi semua pihak:

  • Bagi Sekolah: Untuk segera mengevaluasi dan memperkuat sistem pencegahan dan penanganan bullying, menciptakan lingkungan yang inklusif, dan memberikan sanksi tegas pada pelaku.

  • Bagi Orang Tua: Untuk lebih membuka komunikasi dengan anak, mengajarkan empati, dan mengawasi perilaku mereka, baik sebagai korban maupun pelaku.

  • Bagi Siswa: Untuk berani bersuara melawan ketidakadilan, mendukung teman yang menjadi korban, dan tidak menjadi penonton yang pasif (bystander).

Kisah MR tidak boleh berakhir di artikel ini. Mari kita jadikan ini momentum untuk bergerak bersama. Setiap anak berhak merasa aman dan dihargai di sekolahnya. Mari kita pastikan bahwa tidak ada lagi MR-MR lain yang harus menderita dalam diam.

Skintific

No More Posts Available.

No more pages to load.